oleh: Clara Ng
Tidak ada salahnya mempublikasikan cerpen karya orang lain sebagai referensi,sarana mendidik, bahan bacaan, ataupun belajar menulis cerpen. Padahal semula aku malas menampilkannya. Tapi cerpen yang ini cukup unik dan terkesan membingungkan bagi pembaca dan terserah pembaca sendiri yang menterjemahkan maksud dari cerpen ini.
Menurut aku cerpen ini menceritakan tentang simbol ucapan seseorang (lidah) adalah cermin dari pribdi atau hatinya (kota di atas lidah) seseorang kurang lebih seperti itu. Bagaimana menurut anda?
IA menemukan kota kecil di dalam mulutnya. Sebulan lalu, waktu Ibu selesai mengepang rambutnya panjang di kiri dan kanan, Asna mendengar suara tangisan bayi. Suara itu berasal dari dalam tubuhnya—betapa anehnya ungkapan itu, tapi rasanya benar. Setelah kebingungan beberapa saat, akhirnya Asna membuka mulut di depan cermin, memandang kegelapan di tenggorokannya sambil menunggu kesunyian lewat. Telah hilang semenit, suara tangis itu terdengar lagi.
Cepat-cepat Asna menjulurkan lidah. Pancaran matanya berkilat tak percaya ketika memandangi lidahnya. Ada sesuatu di sana. Air mukanya yang tadi merona merah jambu langsung luntur menjadi pias. Apa yang terjadi? Ia sedang berdiri di depan cermin sambil memandangi lidahnya yang padat dengan jalan raya, rumah, gedung, dan pagar. Ada kota mungil tumbuh di atas lidahnya.
Asna terguncang hebat, mundur selangkah. Lidahnya masuk kembali ke dalam mulut dengan kilat seakan tertelan. Seluruh pori-pori kulitnya gemetar. Apa itu tadi? Sebuah kota? Atau apa? Gadis delapan tahun itu tak bisa memikirkan apa yang barusan melintas di depan matanya. Otaknya membeku. Dengan gamang, ia mengalihkan pandangannya kembali ke arah cermin. Jam berdetik, tak bisa mengukur ketegangan yang ia rasakan.
Sekarang Asna baru tahu, ternyata lidah punya kejutan berbuncah. Pelan-pelan ia membuka mulut lagi, menjulurkan lidah sejauh-jauhnya. Sungguh, ia tidak salah lihat. Menakjubkan. Terpukaulah ia. Lihat, ada peradaban di lidahnya! Ada anak-anak kecil bersepeda di taman ditemani ibu-ibu muda mendorong kereta bayi. Pohon-pohon hijau melambai indah, berderet-deret di sepanjang jalan. Mobil-mobil berlalu lalang dengan santai, tidak ada kesibukan yang dikejar-kejar. Ada gedung-gedung jangkung seperti gedung-gedung di New York. Ada hotel-hotel mungil dengan jendela berbingkai seperti di Paris. Air mancur di kolam-kolam bening seperti di Madinah. Asna takjub tak alang kepalang. Ia seperti menemukan pintu ajaib menuju negeri dongeng.
Ini hal baru. Tentu saja Asna akrab dengan lidahnya, sama seperti manusia-manusia normal yang akrab dengan anggota tubuhnya yang lain. Ia tidak terlalu sering memperhatikan apa yang terjadi dengan lidahnya, tapi ia tahu lidahnya selalu ada di sana untuknya. Lidah selalu melakukan tugas dan pekerjaannya dengan baik, Asna tidak perlu protes dengan lidah. Hanya sekali-kali ketika sariawan menyerang, Asna membenci masa-masa itu, tapi tidak pernah membenci lidah.
Penemuan kota lidah berusaha Asna ceritakan pada ibu, tapi ibu tidak mau mendengar. Katanya Asna mengada-ada. Ia ceritakan pada ayah, tapi ayah hanya tertawa lalu sibuk menekuni ponselnya. Ia mau ceritakan pada guru mengaji, tapi kayaknya percuma karena bisa-bisa ia dipukul pakai penggaris. Akhirnya Asna tidak mau bercerita pada siapa-siapa.
KOTA itu terus tumbuh dan Asna menjadi saksi pertumbuhan kota itu. Bayi yang dilihatnya kemarin merangkak, esoknya sudah belajar jalan. Anak yang bermain bola ternyata minggu depannya sudah merokok. Lelaki berkumis yang rajin mengajar di sekolah ternyata dua minggu kemudian meninggal dunia. Waktu berdetik lebih cepat di sana.
Asna betah kembali ke lidahnya. Bagai magnet, ia tak bisa mengelak dari rasa ketertarikan pada kota damai yang pelan-pelan berubah menjadi bising. Hiruk-pikuknya menjadi tanda-tanda tragedi yang mengerikan. Mobil-mobil di jalan raya sering mengeluh dan melenguh keras. Anjing menggonggong mengancam, bercampur baur dengan bunyi-bunyi ganjil lainnya. Para penghuni kota berusaha menjinakkan teror yang tumbuh semakin besar.
Suatu hari, di tengah malam Asna terbangun oleh pekik kemarahan yang menggema di kepalanya. Ia turun dari ranjang dan berjinjit di depan cermin. Di sana tampak lampu-lampu jalan yang meredup, menjadi saksi keributan manusia yang terusir dari pinggir jalanan dan kolong jembatan. Wajah-wajah bengis dan paras-paras putus asa saling memandang satu sama. Mereka dorong-mendorong dan caci-mencaci. Tangisan anak-anak dan jeritan kutukan sahut menyahut. Adegan demi adegan terus beralih, tiba-tiba terdengar suara tembakan. DOR!
Asna terpaku kaget, lidahnya nyaris tertelan. Cepat ia berbalik, terbirit-birit menuju kamar ibu. Ia menyusup di tengah-tengah orangtuanya, tak bisa lelap tidur sepanjang malam. Matanya berkaca-kaca. Ia mengompol pada dini hari.
Esoknya ibu marah sekali pada Asna. “Bagaimana mungkin anak kelas tiga SD masih kencing di kasur?” bentak ibu murka. Asna membela diri, ia tidak sadar kemarin malam. Ibu tidak menyimak perkataannya. Ibu terus membentak-bentak Asna, merepet-repet sambil mengganti seprai. Mbak Iyo sudah seminggu pulang kampung dan belum balik. Sepertinya Mbak Iyo mencuri kesabaran Ibu dan membawanya ke kampung untuk dibagi-bagikan kepada ibu muda di sana. Sungguh beruntung ibu-ibu muda di kampung Mbak Iyo.
Asna kagum dengan tsunami kata-kata ibu. Ia ingin tahu bagaimana seorang perempuan bisa berbicara secepat itu? Asna mendelik memperhatikan lidah ibu, seperti apa lidahnya. Lidahnya datar. Ya, ya, seperti apa kota yang tumbuh di lidah datar itu? Asna meminta ibu menjulurkan lidah. Oh, mengamuklah ibu! Ia tambah marah, mengira anak perempuannya menyepelekannya habis-habisan. Marahnya sambung menyambung, bergantian; seperti naga ia menyembur-nyemburkan api. Namun bukan ibu namanya kalau ia tidak maha pengampun. Setelah marah-marah tak berkesudahan, marah ibu disudahi juga. Ia menjulurkan lidah buat Asna.
Ada yang salah. Ternyata tidak ada kota apa-apa di lidah ibu. Asna malah terpaku memandang gurun pasir. Gurun pasir berwarna kuning keemasan tercadar oleh debu. Kaktus-kaktus berdiri kaku dalam keheningan, masing-masing sendirian dalam hamburan angin yang mengaum keras. Cahaya hanya redup di sana, kalah oleh kematiannya. Tidak ada keriangan, semuanya beku dan panas seperti api kebencian. Ibu bertanya apa Asna puas? Asna terlalu kaget untuk menjawab apa-apa. Ibu menarik lidahnya lagi, menelan gurun pasir ke dalam mulutnya.
Sejak hari itu, Asna mulai senang membujuk orang-orang untuk menunjukkan lidahnya. Asna menemukan permainan baru, menyadari bahwa lidah-lidah yang dimiliki manusia tidak ada yang sama. Ayahnya memiliki pasar yang teramat besar tumbuh di atas lidahnya. Di sana ada pedagang-pedagang yang suka saling tipu-menipu satu sama lain. Jalan-jalan besar lebar yang penuh dengan teriakan penjual merayu kebohongan. Keramaian tak tertanggungkan di bawah terpal-terpal yang gagah melindungi meja kayu dan daging ayam, kambing dari sengatan panas. Kekotoran dan kesemrawutan yang membusuk.
Lidah pamannya lebih lucu lagi. Tidak ada kota atau pasar atau gurun pasir di sana. Yang ada hanya lapangan luas dengan satu monumen agung di tengahnya. Setiap hari lapangan itu penuh sesak dengan orang-orang yang berlomba-lomba mengangkat spanduk dan kepalan tangan. Mereka berprotes dan berdemonstrasi, berpekik tentang demokrasi, revolusi, kekuasaan, kemerdekaan, kejayaan, kemenangan. Berulang-ulang kata yang sama dipanggil, pagi siang sore malam; tidak ada hal yang baru lagi. Manusia-manusia adalah poros alam semesta di dalam lidah paman, bukan yang lain.
Siapa yang percaya pada apa yang dilihat Asna? Mereka ikut-ikutan melihat di cermin, tapi yang ada di mata mereka hanya lidah biasa berwarna merah dengan bintil-bintil kecil seperti jerawat. Tidak kelihatan apa-apa. Lagian siapa yang mau memercayai anak kecil? Yang tidak tampak tapi dikatakan tampak, bukan cerita istimewa yang layak didengarkan. Asna dituduh memiliki daya khayal dan tingkat lelucon yang terlalu kekanak-kanakan.
Tidak ada lagi yang mau percaya pada perkataan Asna, sebab itu Asna bosan memberitahu. Ia memutuskan hanya mengamati lidahnya saja, menonton dalam kegairahan yang tak berjumlah ketika kota di lidahnya tumbuh semakin serampangan.
ASNA tumbuh semakin besar, demikian juga dengan kota di lidahnya. Waktu ia berumur sepuluh tahun, kota itu semakin sesak. Jalan layang bertumpuk-tumpuk, sampah berkembang biak, mal-mal dengan etalase yang genit membakar setiap inci kota. Deru angin menggulung-gulung, menebarkan kengerian dan kebekuan di sepanjang trotoar. Waktu ia berumur lima belas, pohon-pohon gundul di sepanjang taman-taman. Penjara penuh dengan orang yang saling membunuh, tapi lama-lama satu per satu orang mati karena terbunuh. Gedung bioskop kosong melompong.
Sepanjang gang, kekejaman meluap dari gorong-gorong tempat tikus-tikus raksasa hidup.
Sejak remaja, Asna tidak lagi meminta orang menunjukkan lidahnya pada Asna. Ia mual melihat lidah-lidah di dunia. Bertahun-tahun Asna mencari lidah yang menumbuhkan taman Firdaus di atasnya, tapi ia tidak pernah menemukan. Ia melihat ratusan kota pengap, gurun pasir mengerikan, ladang ilalang yang kesepian, berhektar-hektar payau, kebun yang hangus, sampai kubangan tinja. Ia tidak sanggup melihat lagi.
Dalam kesendiriannya, Asna menonton kehancuran kota lidahnya yang merayap dengan cepat pada usia tujuh belas tahun. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menolongnya, seakan-akan kotanya memiliki takdirnya sendiri. Mustahil menyelamatkan, bahkan ia sendiri tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Kotanya mati setahun setelahnya. Tembok cat mengelupas, menelanjangi dinding-dinding yang runtuh perlahan-lahan. Jendela kosong memandangi gema. Pintu retak-retak, membisu sepanjang malam. Pabrik berhenti menggerutu dengan asapnya. Tidak ada manusia yang hidup di kota itu lagi.
Hati Asna hampa melihat kota lidahnya lenyap. Ia ingat bayi-bayi lucu yang tumbuh besar, bekerja, lalu mati. Ia juga ingat rumah-rumah kecil yang berkembang menjadi semakin tinggi dan luas, dengan keluarga-keluarga yang membengkak. Ia ingat bunga-bunga yang mengembang bersama embun. Tapi kenangan adalah seperti kertas yang tersiram air, melumatkan kata-kata yang tertera di atasnya, dan lama-lama menghancurkan kertas itu sendiri. Di usia dua puluh tahun, Asna lupa akan lidahnya. Boro-boro ingat kota, ia bahkan tidak ingat memiliki lidah. Berbaring dengan ringan setiap malam tanpa terganggu suara-suara berisik yang dulu berasal dari lidahnya.
Suatu hari keponakannya yang mungil memasuki kamar Asna, menatap tantenya dengan pancaran mata misterius, pekat oleh kabut rahasia. Asna bangun dari ranjang, menyambut Ratri. Biasanya keponakannya pasti hendak mengajaknya bermain atau mengobrol tentang pelajaran menggambar. Tapi kali ini Ratri tidak mengajaknya bermain, ia malah meminta Asna membuka mulut dan menjulurkan lidah. Masih tersenyum Asna mengangguk, mengabulkan permintaan Ratri. Ia menjulurkan lidahnya.
Ratri bilang lidah Asna menakjubkan. Ada kuburan besar di dalamnya. Ada deretan nisan putih pualam yang seakan-akan mengeja sendiri kata-kata yang tertulis di sana. Daun-daun merontokkan dirinya di atas pekuburan, meliuk-liuk dan berbisik-bisik menjadi gerimis. Semuanya mendesing seperti peluru dalam kesunyian.
Asna memandang Ratri dengan tatapan heran. “Kuburan di lidah?” tanyanya.
Ratri bilang, “Coba lihat di cermin, Tante.”
Asna pergi ke cermin dan menjulurkan lidahnya sekali lagi.
“Sayang, tidak ada kuburan di sini.”
Keponakannya tetap ngotot.
“Tapi Tante tidak melihat apa-apa.”
Ratri memberikan tatap kecewa kepada Asna. Asna balas memandang Ratri dengan senyum lebar. Ratri melengos. Gadis kecil itu tidak mengatakan apa-apa lagi, mungkin menyerah meyakinkan Asna atau tidak punya ketekunan memberitahu. Ia melompat-lompat keluar seperti kelinci, terus berjalan menuju ke kebun belakang.
Sekeluarnya Ratri dari kamar, Asna berbaring di ranjang dengan senyum yang masih dikulum. Anak-anak, pikirnya sambil mendengus, tidak pernah berbicara benar. Mereka selalu berkhayal yang aneh-aneh. Mereka… ah. Mendadak sesuatu menyisiri pikirannya, ada yang berdenting di sana. Asna mengingat kupu-kupu, mengingat rumah, mengingat kota, mengingat lidah, sepertinya terjadi beberapa dekade lalu. Terasa samar-samar, tapi ada. Seberapa kuatnya ia berusaha mengingat, Asna tidak pernah bisa kembali ke jejak masa lalu.
Asna segera melupakan perkataan Ratri tentang kuburan, dan juga tentang imaji hujan daun di musim gugur. Sudah terlalu siang, ia tidak mau berpikir terlalu berat. Ia hanya ingin menikmati tidur yang tak terganggu sampai matahari turun. Hari ini adalah hari cutinya, enaknya dinikmati di rumah seharian. Biarkan saja atasan dan rekan kerjanya menjadi besi karatan, tenggelam di lautan hiruk pikuk kesibukan kantor. Asna mematikan Blackberry-nya. Matanya terpejam pelan-pelan, kegelapan menghunuskan pedangnya. Sayup-sayup terdengar gelak tawa Ratri dari arah kebun dan teriakan pembantu bersahutan di antaranya. Asna tertidur, lidahnya berdecak-decak dalam mimpi. (*)
(Koran Tempo, 20 Juni 2010)
Clara Ng tinggal di Jakarta. Telah menerbitkan 11 novel, antara lain Jampi-jampi Varaiya (Gramedia Pustaka Utama, 2009); dan sebuah kumpulan cerita pendek, Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2008).