RSJ Mendingan Waras sedang menggelar general chek up dan pengobatan untuk seluruh pasien. Triple-E tampak sibuk mengatur para pasien untuk mengikuti prosedur pemeriksaan. Soalnya, kadang-kadang ada kasus pasien yang ogah ketemu dokter. Buat menghindari acara pengobatan, mereka ngumpet di tempat yang tersembunyi, sebab kalau tidak tersembunyi mereka tidak bisa ngumpet dan yang jelas bisa ketahuan.
"Bapak sakit apa?" tanya dokter.
"Mual-mual dan muntah-muntah, sama gatel-gatel juga."
"Oh, kalo gatel-gatel obatnya gampang, Pak."
"Apa, Dok?"
"Garuk-garuk," jawab sang dokter dengan cueknya. "Buang airnya bagaimana, Pak?"
"Seperti biasa, Dok," jawab pasien sambil cengar-cengir.
"Seperti biasa bagaimana?"
"Masa dokter tidak tahu?"
"Lho, yang buang air kan Bapak. Makanya saya tanya, buang airnya bagaimana?"
"Ya seperti biasa, Dok... jongkok."
Benar saja, ada dua orang pasien yang takut ketemu dokter dan ngumpet entah di mana. Erdin cs dan para petugas RSJ sibuk mencari-cari mereka, seperti nyari anak yang hilang diculik alien.
"Ke mana si Jonted dan Dulkamdi?" tanya Erdin dengan suara putus asa.
"Jangan-jangan mereka bunuh diri?" sela Eddy.
"Aduh, kamu jangan ngayal terlalu jauh dong, Dy." keluh Evita.
"Bisa aja, mungkin mereka menyangka para dokter yang datang itu malaikat pencabut nyawa, terus daripada mereka mati secara swalayan, self service gitu loh."
"Udah deh, supaya ente berdua nggak makin ngawur, mending kita cari lagi si Jonted dan Dulkamdi di tempat lain." Erdin ngeloyor diikuti Eddy dan Evita.
Sementara itu di suatu tempat, yaitu di dalam sebuah bak mandi tidak terpakai yang teronggok di gudang RSJ, Jonted dan Dulkamdi yang lagi dicari-cari berusaha keluar dari bk mandi yang tidak mau melepaskan diri mereka.
"Aduh, kok badan kita jadi nempel di bak ini sih?" keluh Jonted.
"Mungkin badan kita mengandung lem aibon kali?" sahut Dulkamdi.
"Tolong! Tolong!" teriak Jonted.
"Eh, supaya orang-orang pada denger, gimana kalo kita berteriak serempak?" usul Dulkamdi.
"Wah, itu ide yang bagus!" sambut Jonted. "Ayo kita lakukan!"
"Satu..dua..tiga..Serempaaak! Serempaaak!"
Walhasil tidak ada seorang pun yang mendengar teriakan serempak Jonted dan Dulkamdi. Triple-E malah nyasar ke kandang kambing yang terletak di belakang RSJ.
"Kita kok malah ke sini?" tanya Evita. "Ini kn kandang kambing?"
"Siapa yang bilang ini kandang gorila?" sungut Erdin. "Siapa tahu mereka ngumpet di antara para kambing ini."
"Wah jadi ingat proyek pohon ntal kandang kambingnya si Sarmuk," cetus Eddy.
"Pohon natal kandang kambing?" tanya Evita.
"Iya, teman kuliah aku itu pengen bikin kejutan di hari Natal tahun ini. Dia bikin pohon natal dengan dekorasi kandang kambing asli di kamarnya."
"Nah lo! Kayak apa tuh jadinya?" sela Erdin.
"Ya kayak kandang kambing," sahut Evita. "yang baunya bikin hidung keriting."
Benar dugaan Evita. Di rumah Sarimuka Rajagukguk, tulang dan nantulang Sarmuk sedang uring-uringan. Penyebabnya tidak lain adalah pohon natal kandang kambing kreasi keponakan mereka, si Sarmuk.
"Kau ini macam-macam pula bikin kerjaan?" semprot tulang Sarmuk, Marhothot Rajagukguk. "Ini kambing-kambing bikin kami pening. Setiap hari mengembik dan merengek-rengek macam si ucok minta dibelikan permen."
"Lagi pula baunya bikin aku rindu pulang ke Pulau Samosir," sahut nantulang Sarmuk, Tiur Melambailambai Rajagukguk. "Usirlah kambing-kambing itu, biar hidungku ini tidak bertambah besar dan copot berantakan."
"Alamak! Tulang dan nantulang ini tak tahu selera seni tinggi. Kandang kambing ini akan selalu mengingatkan kita pada Yesus Kristus. Biarlah bau sedikit, itu kan sudah resiko. Apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat."
Sarmuk tidak mau kompromi dengan keberatan om dan tantenya itu. Dia tetap saja membiarkan lima ekor kambingnya mengembik-ngembik, berlari ke sana ke mari, buang hajat di mana suka, dan mengendus-ngendus apa saja yang menimbulkan bau. Puncaknya, pada saat perayaan Natal tiba dan keluarga besar Rajagukguk tumplekblek di rumah Sarmuk, kehebohan pun terjasi. Saat selu8ruh keluarga berkumpul di ruang tengah untuk bertukar hadiah, kambing-kmbing Sarmuk yang lupa dikasih makan, mengembik-ngembik serentak mirip klakson bajaj pawai. Sarmuk yang keasyikan mengumpulkan kado dari teman-temannya tersentak kaget.
"Alamak! Kambing-kambing siapa pula ini?" teriak Boru Raima yang paling geli dengan anak kambing.
"Sarimukaaa...!" teriak nantulang Tiur Melambilambai dengan gemasnya. "Enyahkan kambing-kambing kau ini!"
"Iya, nantulang, iya!" Sarmuk buru-buru mengejar-ngejar anak-anak kambingnya yang gesit bukan main, lari ke sana lari ke sini. Tabrak ini, tabrak itu. Alhasil, suasana Natal pun berubah jadi heboh. Semua orang berusaha menangkap anak-anak kambing itu.
Triple-E berkumpul di rumah Eddy. Mereka sedang membahas persiapan Idul Adha di masjid batuk alias Baitul Ukhuwah di komplek Bumhar.
"Persentase korban kambing dan sapi tahun lalu berimbang," terang Evita. "Kira-kira tahun depan gimana ya?"
"Mudah-mudahan sapinya lebih banyak," sahut Erdin.
"Kalo kambingnya yang justru lebih banyak, gimana?" sela Eddy. "Kan tahun ini kita lagi prihatin sama kenaikan BBM?"
"Asal kambingnya yang berkualitas terbaik, tidak masalah." timpal Evita.
Tiba-tiba Triple-E mendengar pintu rumah Eddy diketuk orang. Eddy beranjak membuka pintu, dan langsung kaget melihat siapa yang datang.
"Sarmuk...?"
"Dy.."
Sarmuk berdiri dengan tampang lecek sambil menggendong empat ekor kambingnya yang spontan mengembik serempak. Sementara induk si kambing yang dituntunnya tampak mengendus-ngendus lantai rumah Eddy, kelihatan kurus kerempeng.
"Elo kenapa, Muk?"
"Diusir, Dy," jawab Sarmuk lirih.
"Diusir?"
"Bukan aku yang diusir, tapi domba-domba ini. Mereka sudah membuat pusing keluarga besar Rajagukguk. Tulang dan nantulangku marah-marah terus.
"Terus, elo mau apain kambing-kambing ini?"
"Buat kau sajalah, Dy. Sebentar lagi kan kau menyambut Idul Adha, lumayan buat berkorban."
"Gue kan udah bilang, Muk. Piara kambing itu tidak gambang. Menurut gue, ngerayain Natal tidak perlu sampe bikin kandang kambing beneran segala. Di kamar tidur lagi."
"Iya, Dy. Aku nggak pikir panjang lagi. Ternyata aku nggak sanggup kasih makan domba-domba ini. Maaf ya, Dy, sudah bikin kau repot."
"Ya nggak dong, Muk. Gue malah senang udah bisa bantu elo. Yah, biarpun akhirnya jadi kayak begini."
Sarmuk pun pamit pulang. Eddy membawa masuk kambing-kambing pemberian Sarmuk.
"Lha, ente dapat kambing dari mana, Dy?" tanya Erdin.
"Nah ya, kamu habis ngapain tahu-tahu masuk bawa emak dan anak-anak kambing?" todong Evita.
"Ya ampun..! Janda dengan empat anak dari mana tuh, Dy?" sambung Erdin.
Eddy pun cerita tentang domba yang jadi kambing hitam pengacau acara Natal keluarganya Sarmuk itu.
"Ya Allah, kasihan banget si Sarmuk. Maksud hati pengen bikin simulasi kelahiran Yesus, malah jadi begini akhirnya."
"Dia cuma tidak mikir kalo kambing itu beda sama kucing yang bisa cari makan sendiri. Ente lihat aja, nih domba kurus-kurus begini."
Tiba-tiba kambing-kambing di tangan Eddy lepas lalu lari ke mengelilingi ruangan rumah, mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan. Triple-E pun jadi panik karena kambing-kambing itu mengembik sambil menabrak apa saja.
"Bapak sakit apa?" tanya dokter.
"Mual-mual dan muntah-muntah, sama gatel-gatel juga."
"Oh, kalo gatel-gatel obatnya gampang, Pak."
"Apa, Dok?"
"Garuk-garuk," jawab sang dokter dengan cueknya. "Buang airnya bagaimana, Pak?"
"Seperti biasa, Dok," jawab pasien sambil cengar-cengir.
"Seperti biasa bagaimana?"
"Masa dokter tidak tahu?"
"Lho, yang buang air kan Bapak. Makanya saya tanya, buang airnya bagaimana?"
"Ya seperti biasa, Dok... jongkok."
Benar saja, ada dua orang pasien yang takut ketemu dokter dan ngumpet entah di mana. Erdin cs dan para petugas RSJ sibuk mencari-cari mereka, seperti nyari anak yang hilang diculik alien.
"Ke mana si Jonted dan Dulkamdi?" tanya Erdin dengan suara putus asa.
"Jangan-jangan mereka bunuh diri?" sela Eddy.
"Aduh, kamu jangan ngayal terlalu jauh dong, Dy." keluh Evita.
"Bisa aja, mungkin mereka menyangka para dokter yang datang itu malaikat pencabut nyawa, terus daripada mereka mati secara swalayan, self service gitu loh."
"Udah deh, supaya ente berdua nggak makin ngawur, mending kita cari lagi si Jonted dan Dulkamdi di tempat lain." Erdin ngeloyor diikuti Eddy dan Evita.
Sementara itu di suatu tempat, yaitu di dalam sebuah bak mandi tidak terpakai yang teronggok di gudang RSJ, Jonted dan Dulkamdi yang lagi dicari-cari berusaha keluar dari bk mandi yang tidak mau melepaskan diri mereka.
"Aduh, kok badan kita jadi nempel di bak ini sih?" keluh Jonted.
"Mungkin badan kita mengandung lem aibon kali?" sahut Dulkamdi.
"Tolong! Tolong!" teriak Jonted.
"Eh, supaya orang-orang pada denger, gimana kalo kita berteriak serempak?" usul Dulkamdi.
"Wah, itu ide yang bagus!" sambut Jonted. "Ayo kita lakukan!"
"Satu..dua..tiga..Serempaaak! Serempaaak!"
Walhasil tidak ada seorang pun yang mendengar teriakan serempak Jonted dan Dulkamdi. Triple-E malah nyasar ke kandang kambing yang terletak di belakang RSJ.
"Kita kok malah ke sini?" tanya Evita. "Ini kn kandang kambing?"
"Siapa yang bilang ini kandang gorila?" sungut Erdin. "Siapa tahu mereka ngumpet di antara para kambing ini."
"Wah jadi ingat proyek pohon ntal kandang kambingnya si Sarmuk," cetus Eddy.
"Pohon natal kandang kambing?" tanya Evita.
"Iya, teman kuliah aku itu pengen bikin kejutan di hari Natal tahun ini. Dia bikin pohon natal dengan dekorasi kandang kambing asli di kamarnya."
"Nah lo! Kayak apa tuh jadinya?" sela Erdin.
"Ya kayak kandang kambing," sahut Evita. "yang baunya bikin hidung keriting."
Benar dugaan Evita. Di rumah Sarimuka Rajagukguk, tulang dan nantulang Sarmuk sedang uring-uringan. Penyebabnya tidak lain adalah pohon natal kandang kambing kreasi keponakan mereka, si Sarmuk.
"Kau ini macam-macam pula bikin kerjaan?" semprot tulang Sarmuk, Marhothot Rajagukguk. "Ini kambing-kambing bikin kami pening. Setiap hari mengembik dan merengek-rengek macam si ucok minta dibelikan permen."
"Lagi pula baunya bikin aku rindu pulang ke Pulau Samosir," sahut nantulang Sarmuk, Tiur Melambailambai Rajagukguk. "Usirlah kambing-kambing itu, biar hidungku ini tidak bertambah besar dan copot berantakan."
"Alamak! Tulang dan nantulang ini tak tahu selera seni tinggi. Kandang kambing ini akan selalu mengingatkan kita pada Yesus Kristus. Biarlah bau sedikit, itu kan sudah resiko. Apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat."
Sarmuk tidak mau kompromi dengan keberatan om dan tantenya itu. Dia tetap saja membiarkan lima ekor kambingnya mengembik-ngembik, berlari ke sana ke mari, buang hajat di mana suka, dan mengendus-ngendus apa saja yang menimbulkan bau. Puncaknya, pada saat perayaan Natal tiba dan keluarga besar Rajagukguk tumplekblek di rumah Sarmuk, kehebohan pun terjasi. Saat selu8ruh keluarga berkumpul di ruang tengah untuk bertukar hadiah, kambing-kmbing Sarmuk yang lupa dikasih makan, mengembik-ngembik serentak mirip klakson bajaj pawai. Sarmuk yang keasyikan mengumpulkan kado dari teman-temannya tersentak kaget.
"Alamak! Kambing-kambing siapa pula ini?" teriak Boru Raima yang paling geli dengan anak kambing.
"Sarimukaaa...!" teriak nantulang Tiur Melambilambai dengan gemasnya. "Enyahkan kambing-kambing kau ini!"
"Iya, nantulang, iya!" Sarmuk buru-buru mengejar-ngejar anak-anak kambingnya yang gesit bukan main, lari ke sana lari ke sini. Tabrak ini, tabrak itu. Alhasil, suasana Natal pun berubah jadi heboh. Semua orang berusaha menangkap anak-anak kambing itu.
***
Triple-E berkumpul di rumah Eddy. Mereka sedang membahas persiapan Idul Adha di masjid batuk alias Baitul Ukhuwah di komplek Bumhar.
"Persentase korban kambing dan sapi tahun lalu berimbang," terang Evita. "Kira-kira tahun depan gimana ya?"
"Mudah-mudahan sapinya lebih banyak," sahut Erdin.
"Kalo kambingnya yang justru lebih banyak, gimana?" sela Eddy. "Kan tahun ini kita lagi prihatin sama kenaikan BBM?"
"Asal kambingnya yang berkualitas terbaik, tidak masalah." timpal Evita.
Tiba-tiba Triple-E mendengar pintu rumah Eddy diketuk orang. Eddy beranjak membuka pintu, dan langsung kaget melihat siapa yang datang.
"Sarmuk...?"
"Dy.."
Sarmuk berdiri dengan tampang lecek sambil menggendong empat ekor kambingnya yang spontan mengembik serempak. Sementara induk si kambing yang dituntunnya tampak mengendus-ngendus lantai rumah Eddy, kelihatan kurus kerempeng.
"Elo kenapa, Muk?"
"Diusir, Dy," jawab Sarmuk lirih.
"Diusir?"
"Bukan aku yang diusir, tapi domba-domba ini. Mereka sudah membuat pusing keluarga besar Rajagukguk. Tulang dan nantulangku marah-marah terus.
"Terus, elo mau apain kambing-kambing ini?"
"Buat kau sajalah, Dy. Sebentar lagi kan kau menyambut Idul Adha, lumayan buat berkorban."
"Gue kan udah bilang, Muk. Piara kambing itu tidak gambang. Menurut gue, ngerayain Natal tidak perlu sampe bikin kandang kambing beneran segala. Di kamar tidur lagi."
"Iya, Dy. Aku nggak pikir panjang lagi. Ternyata aku nggak sanggup kasih makan domba-domba ini. Maaf ya, Dy, sudah bikin kau repot."
"Ya nggak dong, Muk. Gue malah senang udah bisa bantu elo. Yah, biarpun akhirnya jadi kayak begini."
Sarmuk pun pamit pulang. Eddy membawa masuk kambing-kambing pemberian Sarmuk.
"Lha, ente dapat kambing dari mana, Dy?" tanya Erdin.
"Nah ya, kamu habis ngapain tahu-tahu masuk bawa emak dan anak-anak kambing?" todong Evita.
"Ya ampun..! Janda dengan empat anak dari mana tuh, Dy?" sambung Erdin.
Eddy pun cerita tentang domba yang jadi kambing hitam pengacau acara Natal keluarganya Sarmuk itu.
"Ya Allah, kasihan banget si Sarmuk. Maksud hati pengen bikin simulasi kelahiran Yesus, malah jadi begini akhirnya."
"Dia cuma tidak mikir kalo kambing itu beda sama kucing yang bisa cari makan sendiri. Ente lihat aja, nih domba kurus-kurus begini."
Tiba-tiba kambing-kambing di tangan Eddy lepas lalu lari ke mengelilingi ruangan rumah, mencari-cari sesuatu yang bisa dimakan. Triple-E pun jadi panik karena kambing-kambing itu mengembik sambil menabrak apa saja.